Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah
Indonesia
KEJADIAN
Di Jawa
Pada masa Plestosen berlangsung, kurang lebih 3.000.000 hingga 10.000 tahun lalu.
Di tandai dengan terjadinya fluktuasi suhu udara yang sangat drastis, sehingga mengakibatkan terjadinya zaman es ( glasial ), serta zaman es mencair ( interglasial ).
Turunnya suhu udara yang sangat tajam, mengakibatkan masa kering, ( interpluvial ).
Namun saat terjadi kenaikan suhu udara, mengakibatkan penurunan jumlah hujan yang sangat luar biasa ( pluvial ).
Kondisi ini mengakibatkan perubahan-perubahan pada jenis flora dan fauna yang hidup pada saat itu, serta perubahan bentuk-bentuk daratan di muka Bumi.
Flora dan fauna merupakan sumber bahan makanan yang sangat dibutuhkan oleh Manusia.
Tetapi perubahan flora dan fauna, membawa dampak perubahan terhadap sistem subsistensi, yang pada akhirnya, memberi dampak pada pengembangan teknologi.
Sehingga dari perubahan-perubahan tersebut.
Manusia harus mengadaptasi serta mengantisipasinya, dengan menciptakan alat-alat, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungannya.
Perubahan teknologi tersebut, dapat diamati melalui temuan artefak, dari masa Plestosen atas, yang menunjukkan penggunaan bahan untuk pembuatan alat yang lebih bervariasi, seperti, duri Ikan, tulang, tanduk dan kulit hewan.
Hal ini dilakukan, untuk memudahkan dalam melakukan perburuan, sebagaimana pada masa Plestosen atas, jumlah hewan yang berukuran besar semakin menurun, digantikan hewan yang berukuran lebih kecil.
Dari data ini dapat diketahui, bahwa perubahan lingkungan yang terjadi, juga berakibat pada perubahan dan perkembangan teknologi, tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari variasi alat yang semakin kompleks.
Hingga tercipta Tantra Sastra Jawa.
Pendopo Ageng, Pura Mangkunegaran Solo
Piramida Berbentuk Segitiga / Kerucut.
Menjadi kebutuhan pokok, yang diaplikasikan ke dalam bentuk atap Rumah Joglo, setelah Pangan dan Sandang terpenuhi.
Namun Kebutuhan yang mampu mempermudah dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, meski tidak mendesak untuk dipenuhi, tetapi menambah rasa bahagia dalam diri, yang juga sangat diperlukan oleh Manusia.
Seperti halnya kebutuhan Manusia akan Tuhan ALLAH Semesta Alam.
YAHWEH; "AKU adalah AKU"
Tidak butuh pengakuan dan tidak perlu diaku-aku, cukup disadari saja AKU yang Sejati.
Dalam Bahasa Pali:
OM SOHUM - AKU Yang Sejati
Dalam Bahasa Sanskrit:
OM SOHAM - AKU Yang Sejati
AKU yang Sejati, tak pernah lahir, tak pernah mati, tak berubah, dulu, sekarang, sampai selama-lamanya, tak terbatas.
Dan semua wujud yang ada di semesta ini, adalah perwujudan dari Tuhan yang tak berwujud, termasuk Saya dan Anda.
Saat belum ada apa-apa yang ada cuma; ROH ALLAH yang melayang layang di atas Semesta Raya.
Sebab yang ada hanya ALLAH, maka tidak ada unsur yang lain, selain ALLAH itu sendiri, yang menjadi bahan dari semua wujud.
Saya dan semua wujud, tercipta dari-Nya, sehingga bukan diciptakan oleh-Nya.
Dan Jiwa adalah Roh, yang tiada dua; Tunggal.
Yesus menyadari bahwa Ia tercipta dari-NYA, seperti anak.
Anak tidak diciptakan oleh kedua orang tuanya, yaitu ayah dan ibunya, tetapi tercipta dari unsur kedua orang tuanya.
Begitu juga antara semua WUJUD dan ALLAH.
Sebab tidak ada unsur apapun selain ALLAH itu sendiri, pada mulanya.
Maka semua tercipta dari unsur ALLAH sendiri.
Spirit itulah yang membuat semua WUJUD yang "Tercipta dari-NYA" bergerak dan hidup.
Sedangkan Manusia butuh Seni, guna memahami tempatnya di Bumi.
Maka di WUJUD-kan ke dalam simbol-simbol berbentuk; Gunungan, Gamelan dan Wayang, sebagai satu kesatuan dari Spiritual.
Sebagai sarana / Media, dalam menyampaikan informasi.
Terhadap Tatanan Zaman, yang terus-menerus mengalami Perubahan dan selalu diperbaharui.
Sementara itu, untuk terjadinya kejadian maupun untuk terjadinya peristiwa, dibutuhkan dualitas.
Ada Yin ada Yang, untuk adanya suatu peristiwa.
Ada siang ada malam, untuk terjadinya hari, adanya peristiwa dalam satu hari.
Ada gelap ada terang, untuk terjadinya suatu kejadian.
Ada dingin ada panas, maka terjadilah suhu / temperatur.
Ada benar ada salah, untuk suatu teladan yang perlu di contoh agar tidak salah dalam berperilaku hidup.
Ada atas ada bawah, ada kuat ada lemah, ada kanan ada kiri.
Sebab begitulah adanya dualitas yang dibutuhkan untuk terjadinya peristiwa keseimbangan Alam Semesta Raya.
Itulah ilmu Kenyataan yang Sejati, bukan ilmu angan-angan.
Kenyataan yang Sejati
Tidak berubah tetap demikian adanya.
Sebagaimana mestinya.
Dulu sekarang sampai selama-lamanya.
Kenyataan yang sejati, sudah semestinya dan demikian adanya.
Sebelum Pikiran Saya lahir.
Bahkan setelah Saya dan Pikiran Saya, sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Absolut, Supreme Reality- Kenyataan Sejati / Kenyataan Murni dan bukan hasil ciptaan pikiran, maupun konsep, bukan hal yang Bias, bukan hal yang multitafsir.
Leluhur NUSANTARA dari Jawa, pernah mengatakan dalam sebaris kalimat:
"BHINNEKA TUNGGAL EKA TAN HANA DHARMA MANGRUA"
BHINNEKA TUNGGAL EKA yang bermakna:
Dunia ini meskipun Berbeda - beda, dengan skala yang berbeda - beda dengan fungsi dan tugas yang berbeda - beda tapi sejatinya TUNGGAL EKA, sejatinya SATU KESATUAN YANG UTUH.
TAN HANA DHARMA MANGRUA:
Tak ada kebenaran dalam segala sesuatu yang Bias / Dualitas.
Sedangkan Multitafsir adalah Bias, satu ayat yang dibaca oleh 10 orang, dapat menjadi 10 tafsiran.
Selama itu masih merupakan tafsiran - tafsiran, konsep-konsep yang diciptakan oleh pikiran, masih belum benar.
Masih Bisa benar bisa salah, bisa benar menurut Saya, bisa tidak benar menurut Anda-Subjektif.
Sedangkan ROH - Jiwa - Spirit; Merupakan data saat kita lahir.
Jiwa relative jernih, karena data yang tersimpan hanya data genetika berupa catatan DNA dari ayah dan ibu.
Sepanjang perjalanan hidup, catatannya tentu makin banyak, karena semua yang terjadi dan dialami menjadi catatan-catatan, goresan-goresan pada Jiwa.
Jika pikiran jernih dan akal tetap sehat, semua peristiwa, pahit-manis, suka-duka, bahagia-sengsara, tidak akan membuat Jiwa rusak tapi Jiwa justru akan kian kuat karena telah berhasil memetik pelajaran dari setiap peristiwa.
Dan semua peristiwa yang kita saksikan, rasakan dan alami, adalah kitab kejadian kita masing-masing, sehingga dari sini, kita harus jeli, petik pelajaran, dari setiap peristiwa tersebut.
GUNUNGAN
Gunungan
Gunungan, telah lebih dulu tertuang dalam konsep Trinitas, sejak Zaman Es.
Dengan pola Segitiga yang bermakna Ke-TUHANAN, berbentuk Tanda Salib, berupa; Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Dan Trinitas, tidak membahas tentang sesuatu yang berasal dari dalam diri ALLAH; Tetapi tentang sesuatu yang berasal dari luar diri-Nya, yaitu tentang sisi ke-Ilahian-Nya.
Saat sebagai Manusia biasa; Ia merasakan sakit dan juga mengalami kematian secara fisik/raga, tetapi tidak dengan Roh.
Hingga Zaman Bumi Sambaradha Buddha Borobudur
Sebelum Wayang dimainkan
Gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan, bermakna lakon Wayang belum dimulai, bagai Dunia yang belum terbentuk.
Layar Wayang Kulit
Dengan keberadaan Gunungan, yang dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan cerita atau lakon Wayang, selain sebagai indikator pergantian adegan maupun sebagai visualisasi fenomena alam seperti angin, samudra, gunung, dan halilintar.
Gunungan yang berbentuk kerucut ke atas, melambangkan kehidupan Manusia.
Semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, Manusia harus semakin mengerucut/golong gilig, Manunggaling Jiwa, Rasa, Cipta, Karsa dan Karya dalam kehidupan.
Pola segitiga pada Gunungan, sebagai simbol dari Purwa, Madya dan Wasana, yakni siklus kehidupan dari awal hingga akhir.
Bermakna Filosofi yang menggambarkan simbol kehidupan di alam semesta, khususnya perpindahan waktu menuju babak baru.
Lambang keadaan dunia beserta isinya.
WAYANG
Wayang Kulit
Pada paruh kedua milenium pertama, sebelum Masehi.
Wayang Kulit muncul setelah ajaran Buddha Sidharta Gautama ada.
Hingga tahun 300-600 Masehi
Wayang Kulit, hadir sebagai pentas seni pertunjukan tradisional INDONESIA, di awal Peradaban Modern di NUSANTARA, yang berkembang pesat di Jawa.
Hal ini terbukti pada serangkaian Prasasti Pewayangan, yang ditinggalkan oleh Kerajaan KALINGGA-Jepara.
( Lokasi, di Desa Keling, kec. Keling, Kab. Jepara, Prov. Jawa Tengah, Indonesia )
Hal tersebut, dapat ditelusuri lebih jauh, melalui keberadaan situs Candi Bubrah.
Sebagai gapura pintu utama, menuju situs Candi Angin, yang berjarak sekitar 500 meter, dan di bangun di lereng gunung Muria.
( Lokasi; di Desa Tempur Kec. Keling, Kab. Jepara, Prov. Jawa Tengah, Indonesia )
Sedangkan tokoh Pewayangan, seperti; Abiyoso, Bambang Sakri, Sekutrem, Kamunoyoso, Pandu Dewonoto dan Jonggring Saloko.
Berada di antara arca Batara Guru, Togog, Narada, serta Wisnu, pada Prasasti Rahtawun, di Puncak Sanga Likur, puncak Gunung Muria
( Lokasi; di Desa Rahtawu Kab. Kudus, Prov. Jawa Tengah, Indonesia).
Dimana pada masa itu, Penduduk KALINGGA meyakini, ajaran Buddha Sidharta Gautama.
Sementara cerita Wayang, adalah Saloka, yaitu suatu ajaran, yang dijabarkan dalam bentuk seni pertunjukan serta disimbolkan ke dalam tiap karakter tokoh Pewayangan.
Ajaran yang dimaksud adalah ajaran Buddha Gotama.
GAMELAN
Gamelan Jawa
Batara Guru adalah Raja Para Dewa, yang memerintah, seluruh Alam Semesta Jagad Raya, dari Istana Kahyangan.
Ia menciptakan Gamelan Lokananta, yang semula tak berwujud dan berbunyi di awang awang, pada tahun 167 Saka.
( Tahun 230 M Masehi )
Batara Guru lalu memerintah Batara Indrasurapati, agar menciptakan Gamelan tiruan dari Gamelan Lokananta, yang tak berwujud, berupa; Gong, Kethuk, Kenong, Rebab, sebagai tanda untuk memanggil Para Dewa.
Agar pesan lebih kompleks, Batara Indrasurapati kemudian menciptakan dua gong lainnya, sehingga membentuk set gamelan utuh.
Hingga Tahun 800 Masehi
Wujud dari Gamelan Lokananta, kemudian di Wukir oleh Mahendra Giri pada relief Candi Buddha Borobudur, era Wangsa Syailendra, Kerajaan Medang Kamulan.
Gamelan yang terdiri dari instrumen musik perkusi, yang digunakan pada seni musik karawitan.
Dengan tabuhan gamelan Gangsa ageng, sebagai pengiring pergelaran Pentas Seni Pertunjukan Wayang Kulit.
Pembaharuan Zaman yang terstruktural.
Menuntun Manusia, sampai pada Peradabannya, dengan mengadaptasikan kehidupan Ke-TUHANAN-nya.
Ke dalam per-Wujud an Kesenian tradisional, seiring pengaruh Hindu - Islam di NUSANTARA, hingga di masa sekarang, dengan tetap mempertahankan Wayang, sebagai Roh, yang menghidupi, Tatanan Dunia Zaman Baru, dari Jawa. (Sha/PH.S)
Dari Berbagai Sumber
In Frame : Sha Mantha