In Frame Sha Mantha
Photo taken Guston Rahardjo
Gerbang Peradaban Modern NUSANTARA
Cerita Keagamaan dan konsep kosmologi, tentang, perjalanan hidup manusia berupa, Karma, Nafsu dan Keinginan.
Terpahat pada ornamen relief dinding, di 3 ( tiga ) situs Candi yang terletak di dukuh Duplak, Desa Tempur, Kec.Keling, Kab. Jepara, Prov. Jawa Tengah, Indonesia.
Melengkapi peradaban modern NUSANTARA sejak mula-mula, di puncak Gunung Muria, diantaranya; Situs Batara Guru, Prasasti Puncak Songolikur, dll.
Dan tercatat pada abad ke-6 M - 7 M
Dengan Ratu Shima, pemimpin terakhir Negara KALINGGA, yang berdiri tahun ( 594 M - 695 M ).
Pasca kematian Brawijaya V
Negara Majapahit, segera mengalami kemunduran secara terstruktural, ditandai dengan berdirinya Negara Islam Demak, yang memecah Jawa menjadi 3 ( Tiga ) bagian.
Hal ini memicu perpindahan Ibukota Negara Majapahit yang semula berada di Trowulan, ke bekas Ibukota Negara KALINGGA dahulu berdiri, di wilayah Kec. Keling, Kab. Jepara.
Dengan Kab. Pati, sebagai Gapura Perbatasan/Pintu masuk menuju Ibukota Majapahit yang baru.
Sebelum berakhirnya pemerintahan Majapahit, Hayam Wuruk, membangun Candi Bubrah, sebagai gapura utama, menuju Candi Angin, yang berjarak 500 meter dengan Candi Aso, yang dibangun beberapa ratus meter disebelahnya, tepat di sisi Utara Lereng Gunung Muria.
Desa Tempur
Area Persawahan Desa Tempur
Berada pada ketinggian 800-1.000 meter di atas permukaan laut.
Desa yang dikelilingi hamparan sawah berundak bak Ubud Bali tersebut, dihuni kurang lebih 3.000 Kepala Keluarga, dengan ragam kehidupan Pertanian didalamnya.
Selain menanam Padi dan menghasilkan beras kualitas pulen, sayur mayur dan Palawija, menjadi tanaman khas Masyarakat lereng pegunungan yang umum dihasilkan, untuk menopang perekonomian warga Desa.
Sulitnya akses keluar masuk Desa, dikarenakan kondisi jalan berbatu terjal, sebagai satu - satunya jalan penghubung menuju Desa.
Bukan saja mengisolasi Masyarakat KALINGGA, yang sejak dulu menetap di sisi Utara lereng Gunung Muria, hidup terpencil, terhimpit dalam kemiskinan berkepanjangan.
Sebab, tidak banyak hasil pertanian yang dapat dibawa keluar Desa, mengingat sulitnya akses jalan penghubung yang ada.
Sehingga hanya sedikit Beras, serta hasil Pertanian lainnya yang dapat dijual.
Kopi Tempur
Kebun Kopi |
Kebun Kopi di Desa Tempur, telah ada sejak puluhan tahun silam.
Namun karena khawatir terkena serangan Hama, terlebih enggan repot menjemur biji-biji Kopi yang dipanennya.
Petani Kopi Tempur rumahan, memilih untuk memetik biji kopi berwarna hijau, dimana tiap masa Panen, satu pohon hanya mampu menghasilkan 2-5 kg ( Dua Hingga Lima Kilogram ), biji Kopi basah yang dijual murah.
Kisaran harga Rp. 4.000 - Rp. 5.000 per/kg ( Empat Ribu Rupiah hingga Lima Ribu Rupiah perkilogramnya ).
Dengan pendapatan rendah sekitar
Rp. 1. 200.000 ( Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah ), setiap musimnya.
Hingga tahun 2015
Kebiasaan memetik biji kopi muda, mulai berubah, setelah kopi Tempur memenangkan lomba Kopi terbaik kedua di Indonesia, saat uji cita rasa, yang diikuti Kopi-Kopi terbaik se-Indonesia, di Yogyakarta.
Menyadari harga Kopi Merah jauh lebih tinggi, Petani kemudian memetik biji Kopi merah, dan mengalami kenaikan pendapatan lebih dari
Rp. 2. 500.000 ( Dua Juta Lima Ratus Rupiah ), per musim.
Buah Kopi
Selain memiliki berbagai macam varian rasa, seperti; Kopi Robusta Petik Merah, Arabika Petik Merah, Robusta Fermentasi, Kopi Jahe, serta kopi Lanang yang dipercaya dapat meningkatkan vitalitas kaum Pria.
Desa Tempur juga dikenal, sebagai penghasil kopi jenis Robusta dan Arabika berkualitas, yang di tanam Petani Kopi rumahan, dan mampu menghasilkan 500 - 700 ton ( Lima Ratus hingga Tujuh Ratus Ton ), Kopi tiap tahunnya.
Terdapat sekitar 30 warga yang mampu memproduksi Kopi secara mandiri, seiring meningkatnya permintaan Pasar Lokal.
Sehingga mampu menopang perekonomian Desa dengan sebagian Warga Desa yang menjadi Produsen Kopi.
Keadaan perlahan berubah, setelah Kopi Tempur mulai dikenal oleh Masyarakat di luar Desa.
Begitupun sarana jalan penghubung saat ini yang sudah beraspal, hingga ke Dusun tertinggi Desa Tempur.
Meski sempat terpuruk, oleh pandemi Covid-19.
Permintaan Kopi Tempur, perlahan bangkit menjadi dorongan bagi Warga Desa dalam berinovasi, agar Kopi Tempur dapat diterima oleh Pasar Dunia.
Bahkan saat ini, sudah tidak ada lagi Biji Kopi basah, maupun biji Kopi mentah, yang keluar dari Desa.
Setelah Petani menjualnya kedalam tiga jenis, berupa; biji Kopi kering, biji Kopi Sangrai, dan Kopi bubuk.
Agrowisata Desa Tempur
Bunga Kopi
Tradisi Wiwitan petik Kopi Desa Tempur, menawarkan destinasi wisata, sebagaimana Kopi telah dimanfaatkan sebagai agrowisata.
Melalui ritual Petik Kopi Tempur, dimulai dengan memilih biji Kopi terbaik dari beberapa pohon, yang selanjutnya, diawali tradisi panen yang dilakukan oleh tokoh Masyarakat Desa, diiringi tabuhan musik tradisional, diakhiri makan bersama.
Sehingga wisatawan dapat menyaksikan secara langsung, proses mengolah Kopi, mulai dari memecah biji Kopi, bersama para Wanita, yang menumbuk biji Kopi untuk dikonsumsi sendiri.
Kini, Desa yang dulu terisolasi, terhampar jutaan Biji-biji Kopi yang dijemur di sudut tepi-tepi jalan tiap panen tiba, dengan beberapa Keluarga membuka kedai Kopi di dusun-dusun, mengubah gaya hidup konvensional, menuju ekonomi kreatif mandiri. ( sha/as/h/ua/rk )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.